Minggu, 07 Desember 2008

Mengapa Keluarga Saya Orang Papua Kok di Bunuh ?

DUA orang tewas akibat kerusuhan antarmasyarakat di Timika, beberapa saat lalu. Peristiwa ini tidak hanya ancaman bagi situasi kondusif Papua, tetapi juga cermin kekonyolan pemerintahan pusat menghadapi masalah Papua. Bentrok antarkelompok itu akibat sikap pro-kontra menyikapi Deklarasi Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Sabtu, 23 Agustus 2003.

Deklarasi ini ditafsirkan elite lokal sebagai implementasi Inpres No 1 Tahun 2003 tanggal 27 Januari 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Timur. Sebelumnya, 6 Februari 2003, Abraham Oktavianus Atururi mendeklarasikan Provinsi Irian Jaya Barat di Manokwari sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai gubernur.

Sejak inpres itu keluar, sikap masyarakat Papua terbelah menjadi dua: pro-kontra pemekaran. Peristiwa yang sama terjadi September 1999 saat UU No 45/1999 yang membagi Papua menjadi tiga provinsi keluar disusul Keppres Nomor 327/M/1999 yang mengangkat Abraham Oktavianus Atururi dan Hermam Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat dan Tengah. DPRD Irian Jaya kala itu cepat mengantisipasinya, dan dalam satu sidang paripurna mengeluarkan Keputusan No 11/DPRD/1999 yang berisikan penolakan UU No 45/1999 dan Keppres No 327/M/1999 itu. Akhirnya, pemekaran ditunda, dan suasana mendingin. Mengapa masyarakat Papua bersikap terbelah, bahkan sampai baku bunuh dalam hal pemekaran wilayah?

Jadi obyek

Sepanjang Irian Barat berintegrasi dengan NKRI, tercatat ada 20 produk hukum berupa Tap MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan presiden yang dikeluarkan Jakarta mengenai segala hal berkait dengan pemerintahan di Provinsi Irian Barat/Irian Jaya/Papua. Ini jumlah yang besar dibanding provinsi lain di Indonesia.

Penyebabnya? Pertama, sebagai upaya pengetatan secara politik, sebab sejak awal Papua merupakan daerah sengketa. Sebuah kebijakan yang, sadar atau tidak, ikut mengubur kreativitas orang Papua.

Kedua, karena perlu diatur secara ketat, maka perlu pula diawasi ekstra ketat. Ketiga, sebagai justifikasi terhadap semua upaya pemerintah Jakarta dalam rangka mengakselerasi pembangunan di Papua, yang oleh orang Papua justru ditafsirkan sebagai pembelengguan.

Yang unik, semua produk peraturan tentang Papua itu awalnya menunjukkan keberpihakan pada orang Papua. Belakangan justru mengalami distorsi dan degradasi. Misalnya, dalam PNPS (Penetapan Presiden, kini Keppres) No 1/1963 ditetapkan, gubernur adalah orang Papua asli. Juga ada pengakuan terhadap peradilan adat yang diatur dalam produk hukum lain. Namun, tiga tahun kemudian, lahir Keppres No 6/1966 tentang Penghapusan Peradilan Adat. Tak heran sejak 1966-1998 (masih di era Orde Baru) peran adat termarjinalisasi. Lalu masuk UU No 5/1974 tentang Pemerintahan Desa yang mengunifikasi semua struktur pemerintahan desa.

Masalahnya, semua keputusan itu tidak pernah mengajak orang Papua untuk mendiskusikannya. Masyarakat Papua hanya dianggap sebagai obyek dan selalu harus menerima akibat buruknya. Apa yang terjadi di Timika Sabtu dan Minggu lalu adalah contoh nyata.

Pada 1956, pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, Belanda, Indonesia dan Belanda merasa tidak puas. Maka, diam-diam, keduanya melancarkan gerakan atau intrik politik. Indonesia menetapkan UU No 15/1956 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat, dengan ibu kotanya di Soa-siu, Ternate (LNRI No 33, 1956). Tahun 1958, muncul undang-undang baru, UU No 23/1958 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat. Ia hanya merupakan penegasan kembali terhadap keberadaan Provinsi Irian Barat.

Sesudah itu ada sebuah PNPS No 1 Tahun 1962. Setahun kemudian (1963), muncul lagi sebuah PNPS No 57/1963 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat, yang intinya menegaskan, Irian Barat adalah bagian dari Republik Indonesia.

Hal yang sama dilakukan Belanda dengan memasukkan Nederlands Nieuw Guinea (Irian Barat) ke dalam Grondwet-nya pada 1956. Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda berbunyi: Het grondgebied van het Koninkrijk der Nederlanden omval Nederland, Suiname, de Nederlandse Antilen en Nederlands Nieuw Guinea (wilayah Kerajaan belanda meliputi Nederland, Suriname, Kepulauan Antilen, dan Nederlands Nieuw Guinea).

Maka, lahir "Negara Papua Barat" sebagai bagian Kerajaan Belanda. Apa yang oleh Soekarno lalu disebut sebagai "Negara Boneka Papua Bentukan Belanda." Niatan Belanda itu diwujudkan dengan membentuk Nieuw Guinea Raad, semacam parlemen, lalu kepolisian, serta bendera dan lagu kebangsaan. Belakangan dikenal kepolisian ala Belanda itu Vrijler Corps, bendera adalah Bintang Kejora, dan lagu kebangsaan, Hai Tanahku Papua.

Puncaknya, pada 1 Desember 1961, dideklarasikan kemerdekaan Papua ala Belanda. Lagu dikumandangkan dan bendera dikibarkan di depan gedung Nieuw Guinea Raad di Holandia (Jayapura, sekarang). Peristiwa inilah yang hingga kini diyakini masyarakat bahwa Papua pernah merdeka.

Indonesia kaget dengan peristiwa ini. Maka dimulailah infiltrasi ke Papua. Tepat 18 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora untuk merebut Papua dari tangan Belanda. Setelah melalui beragam peristiwa dan perundingan, terjadilah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang difasilitasi United Nations Transitional Executive Authority (UNTEA).

Seusai Pepera, lahir UU No 5/1969, yang memperkuat PNPS No 57/1963 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat. UU ini lalu tidak berlaku lagi dan diganti UU No 12/1969. UU inilah yang secara de iure dan de facto menjadi landasan hukum dibentuknya Provinsi Irian Barat dan kabupaten otonom di Irian Barat. Yakni, Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Yapen-Waropen, Kabupaten Paniai, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Biak-Numfor, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Merauke.

Hal ini, dianggap sebagai suatu era baru, karena sudah melewati tahapan Pepera. Secara yuridis formal, proses ini merupakan titik awal adanya pemerintahan yang sah. Karena sebelumnya, pusat pemerintahan berbasis di Soa-siu, Ternate, yang notabene masih dikuasai Belanda. Selanjutnya, pada 1973, nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 5/1973. Penggantian nama ini dilakukan Soeharto dari Tembagapura, tepat saat PT Freeport mulai beroperasi di Papua. Pada 1 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mensahkan nama Papua mengganti Irian Jaya. Dan, secara formal, nama Papua ditetapkan dalam UU Otonomi Khusus 21 November 2001.

Dicedarai sendiri

Dalam perkembangan kemudian, satu provinsi dan sembilan kabupaten ini oleh pemerintah dianggap belum bisa menjawab kebutuhan administrasi pemerintah daerah. Maka pada 1993, melalui UU No 6/1993, Kabupaten Jayapura dimekarkan menjadi Kotamadya Jayapura.

Selanjutnya dikeluarkan PP No 54/1996 tentang pembentukan empat kabupaten administratif, masing-masing Kabupaten Administratif Mimika, Kabupaten Administratif Puncak Jaya, Kabupaten Administratif Nabire, dan Kota Administratif Sorong.

Tiga tahun kemudian, lahir UU No 45/1999. UU ini tidak hanya meningkatkan status ketiga kabupaten administratif itu setelah Sorong resmi menjadi kotamadya, tetapi juga ada bonus besar: Papua dimekarkan menjadi tiga provinsi: Irian Jaya Barat, Timur, dan Tengah.

UU ini disusul Keppres No 327/M/1999 tentang pengangkatan Abraham Oktavianus Atururi dan Hermam Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat dan Tengah. Juga tiga tahun kemudian, demi menyongsong pemekaran tiga provinsi, lahir UU No 26/2002 tentang pembentukan 14 kabupaten baru. Sehingga, kini Pulau Papua memiliki 28 kabupaten/kota. Terbanyak sepanjang sejarah pemerintahan daerah di republik ini jika semuanya berada dalam satu provinsi.

Pada era 1980-an, sebenarnya niat pemerintah untuk memekarkan Papua menjadi tiga provinsi telah ada. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan tiga pembantu gubernur wilayah (PGW) untuk wilayah satu, dua, dan tiga yang berkedudukan di Jayapura, Manokwari, dan Merauke. Selanjutnya, pada era 1998, juga dibentuk tiga wakil gubernur Provinsi Irian Jaya yang dijabat JRG Djopari, Herman Monim, dan Abraham Oktavianus Atururi. Gubernurnya adalah Freddy Numberi.

Namun, gelombang reformasi juga sampai di Papua. Bedanya, masyarakat secara terbuka menuntut kemerdekaan Papua. Era 1999-2000 terjadilah beragam peristiwa yang mengarah ke makar. Di antaranya Pertemuan Tim 100 dengan BJ Habibie, Mubes Papua, Kongres Rakyat Papua, dan masih banyak lagi. Saat situasi memanas inilah pemerintah menelorkan UU No 45/1999. Sontak masyarakat menolak. Mereka menduduki kantor gubernur dan gedung DPRD . Sampai kemudian DPRD Papua mengeluarkan Keputusan No 11/DPRD/1999 yang berisikan penolakan UU No 45 dan Keppres No 327/M/1999 itu.

Dalam perkembangannya, upaya yang dilakukan pemerintah bagi percepatan pembangunan di Papua melalui penataan struktur pemerintahan, dianggap belum memberi jawaban signifikan. Sehingga dalam Ketetapan MPR-RI No IV Tahun 1999 diamanatkan Otonomi Khusus. Akhirnya, muncul UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang efektif berlaku 1 Januari 2002.

Otonomi Khusus layaknya mengembalikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat Papua sebagaimana awal-awal integrasi. Bila pemerintah komit dan serius melakukan itu, mungkin penyelenggaraan pemerintahan di Papua tidak seperti sekarang ini: begitu krusial. Ketertinggalan Irian Jaya pada masa-masa itu hingga kini banyak dikarenakan produk hukum yang terlampau erat membatasi ruang-gerak sehingga mematikan kreativitas masyarakat. Aktivitas pemerintahan di daerah selalu berjalan dengan persetujuan pusat (petunjuk dari atas) tanpa meminta pendapat masyarakat Papua.

Otonomi khusus mengamanatkan soal ini: pemerintahan yang transparan, kredibel, dan membuka ruang konsultasi publik seluas-luasnya. Bahkan soal pemekaran wilayah, Pasal 76 UU Otsus juga telah menjelaskannya secara tegas dan gamblang. Tetapi, baru setahun dijalankan, mengapa pemerintah pusat justru mencederainya sendiri dengan memaksakan pemekaran lewat landasan UU No 45/1999 yang jelas-jelas tidak memiliki keberlakuan hukum secara sosiologis? Apakah bentrokan antarmasyarakat Papua memang menjadi tontonan favorit pemerintah Jakarta?

Tidak ada komentar: